“Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang, kuraut dan kutimbang dengan benang, kujadikan layang-layang. Bermain berlari, bermain layang-layang. Berlari kubawa ke tanah lapang, hatiku riang dan senang.”
Ratusan orang memadati Pantai Padang Galak, Bali dengan berselimut cuaca nan terik. Setahun yang lalu, waktu itu bulan Juli, angin tengah berembus kencang-kencangnya. Di angkasa yang lapang, puluhan layang-layang tradisional dengan beragam bentuk mengudara. Satu layangan saja panjangnya bisa bermeter-meter. Butuh kerahan tenaga lima hingga sepuluh orang untuk membuatnya terbang.
Layangan bukan hanya untuk sekadar dimainkan, melainkan sebagai wujud syukur pada bidadari-bidadari cantik di langit. Bila dianalogikan, layangan digambarkan sebagai perwakilan dari manusia. Layangan tetap memiliki tangan, kaki, dan badan. Mereka terbang menuju angkasa nan biru karena memiliki komponen layaknya manusia. Manusia kendalikan emosi. Layangan dikendalikan oleh benang. Dari hal seperti inilah berangkat sebuah mitos tentang budaya, langit, dan kebahagiaan.
Pada musim tertentu, diadakanlah ritual seperti Pesta Panen. Masyarakat di Bali membuat lomba layang-layang di beberapa tempat yang nyatanya menyedot perhatian dunia. Setiap tahunnya, festival layangan ini rutin diadakan. Dalam satu hari, ribuan layang-layang dapat terbang di langit Pulau Dewata, seolah membentuk titik-titik cantik yang berarak ke sana kemari tertiup angin.
Baca juga: Menyusuri Kenangan di Kampung Halaman, Bangka Belitung
Inilah cara masyarakat Bali untuk mengucap terima kasih kepada Tuhan. Mereka menaikkan layang-layang, membisikkan harapan, dan berharap Dewi Sri dapat turun dari khayangan. Masyarakat membuat layangan secantik mungkin untuk menyenangkan hati si Dewi Padi. Ketika turun ke bumi nanti, masyarakat berharap bahwa sang dewi bisa membuat lahan kian subur karena merasa senang dengan cantiknya layang-layang yang dipersembahkan untuknya.
Memang, yang menyuburkan lahan perkebunan atau persawahan adalah masyarakat Bali sendiri. Namun, kepercayaan seperti inilah yang semakin menumbuhkan harapan dan kecintaan akan budaya tradisional. Tak heran, sejak 1979, langit Bali seolah terlihat seperti museum layangan yang penuh warna, penuh cerita.
***
Layang-layang pertama kali ditemukan pada sebuah lukisan di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, pada abad ke-21. Lukisan tersebut menggambarkan orang yang tengah bermain layangan. Hingga kini, masyarakat Pulau Muna masih mempertahankan permainan tradisional ini, di mana rangka layangannya terbuat dari bambu bulu, sedangkan kertasnya berasal daun kolope. Lalu, digabung menjadi satu dengan lidi dari kulit batang waru. Talinya pun berasal dari serat nanas hutan yang dipilin.
Layang-layang nyatanya tak hanya digunakan sebagai permainan tradisional saja. Namun, juga digunakan sebagai sumber energi, alat ritual, memancing, menjerat, bisa juga untuk penelitian ilmiah.
Baca juga: 5 Kegiatan Seru yang Bisa Dilakukan di Perkebunan Teh
Pada 1749, ilmuwan Skotlandia bernama Alexander Wilson bahkan menggunakan layangan guna mengukur temperatur udara di ketinggian yang berbeda. Tiga tahun setelahnya, Benjamin Franklin menjadikan layangan sebagai alat penangkal listrik. Di negara lain, layangan juga biasa digunakan untuk mengusir setan. Lantas, bagaimana dengan Indonesia.
Endang Ernawati (63) mulai menekuni dunia layang-layang sejak 25 tahun silam. Dari sekian banyak perempuan, dia melihat tidak ada yang concern di bidang ini. Endang, pendiri Museum Layang-layang Indonesia yang terletak di Jakarta Selatan ini pun mulai memerhatikan permainan tradisional karena melihat dari nilai seninya. Ada seutas harap di dalam dirinya, yakni agar masyarakat bisa kembali menerbangkan layangan dengan bebas.
“Kalau saya mengikuti perkembangan layang-layang di luar negeri, Indonesia harus berbangga karena memiliki banyak layangan. Tiap provinsi memang memiliki persamaan dalam layang-layangnya, tetapi mereka punya ciri khas yang menunjukkan identitas masing-masing dari warna, juga bentuk,” ujarnya.
Baca juga: Berkeliling Sambil Memotret di Pasar Beringharjo
Layang-layang terbagi menjadi tiga jenis, yakni layang-layang olahraga, kreasi, dan tradisional. Menariknya, layangan tradisional memiliki bunyi-bunyian tertentu ketika dimainkan. Ketika potongan bambu dan bahan layangan lainnya bergesekan dengan kencangnya angin, bunyi-bunyian ini menjadi dengung yang berlomba-lomba memenuhi telinga. Suatu identitas unik yang hendak dibawa masing-masing daerah.
Di Jawa Tengah, kita mengetahui layangan Sendaren. Di Bali, kita mengenal layangan bernama Pebean dan Pecukan. Layangan Danguang dari Padang pun terkenal karena bunyi dengungnya. Ada lagi, Layangan Kewangan biasanya dikenal di sekitar kita.
Nyatanya, selama ini orang-orang hanya berpikir, layangan adalah sebuah benda berbentuk belah ketupat, diberi benang, bisa kita terbangkan, bisa kita mainkan. Namun, sejak menerbangkan diri ke dunia layangan selama 25 tahun terakhir, barulah Endang melihat bahwa permainan ini tidak sesimpel itu.
“Untuk layangan Indonesia, saya melihat dari segi pelestarian budayanya. Tidak semua anak tahu. Maka dari itu, saya bikin workshop di mana-mana dan fantastis… tidak ada sekolah Indonesia yang menjadi murid saya, kebanyakan asing.”
Ya, kita memang membuat layangan dan menaikkanya. Itu simpel, tetapi untuk murid-murid dari sekolah asing, hal ini adalah “sesuatu” karena memang mereka senang eksplorasi. Bagi Endang, masyarakat Indonesia terkesan menggampangkan. Ah, bisa beli di warung-warung. Berbeda dengan murid-murid asing yang bertanya dengan antusias, ingin tahu apa bahan yang digunakan untuk membuat layangan, bagaimana membuatnya, cara memegang guntingnya, hingga menyerut bambunya.
Baca juga: Bertemu dengan Pelukis dan Pendiri Gereja Ayam
Hanya bermodalkan 10 ribu rupiah untuk tiket masuk ke Museum Layang-layang Indonesia per orangnya, Endang mulai mengisi kehidupannya dengan berguna bagi orang banyak. Museum yang sudah berjalan selama 11 tahun ini nyatanya juga dipenuhi oleh orang-orang yang mengajar dengan kecintaan. Meski mendapat upah sedikit, tetapi rasa syukur seakan membubung tinggi. Bagi mereka, mengajarkan permainan tradisional inilah yang penting. Rasanya ada kebanggan tersendiri yang berlomba-lomba menyenangkan hati, meski di satu sisi pemerintah kurang menghargai karya negeri sendiri.
Seolah mereka lupa masa kecil. Berurusan dengan permainan tradisional yang patut dilestarikan saja seperti tak punya cukup waktu. Padahal, berbagai prestasi sudah ditorehkan di bidang ini.
Ialah Ida Bagus Dharma Wisesa, remaja asal Bali yang berhasil memenangkan festival layang-layang di Jerman dan Belanda. Ia menduduki peringkat satu untuk kategori layang-layang tradisional dalam festival bertaraf internasional ini. Di Jerman, ia menaikkan layangan jenis Rokoku berwujud Janggan Bali. Saat di Belanda, ia memainkan layangan jenis delta, serupa dengan Rangda Bali.
”Sebenarnya saya juga mempersiapkan diri untuk mengikuti festival layang-layang di Belgia dan Swiss. Karena sudah dapat dua Juara I secara berturut di dua festival berbeda, saya tidak bisa lagi mengikuti festival itu, tapi tetap diundang secara khusus sebagai tamu kehormatan,” tuturnya seperti yang dilansir dari www.balipost.co.id.
Tak berhenti sampai di situ, pada 2007 lalu, ia pun berhasil memperoleh predikat The Best Kite Performance untuk kategori Traditional Kite. Prestasi ini kembali disabetnya di Belgia setahun kemudian.
Baca juga: Mampir ke Belinyu, Jalan-jalan ke Mana Saja?
Bila berkaca pada masa kini, sangat disayangkan, berkurangnya tanah lapang menjadi penyebab ketiadaannya tempat untuk bermain layangan. Seolah sulit menemukan banyak pijakan untuk berdiri, menaikkan layangan, dan menarik ulur benangnya sekuat tenaga. Padahal, langit biru yang cerah selalu menunggu datangnya layangan berwarna-warni. Embusan angin kencang pun selalu siap untuk diburu dan dilawan.
“Dulu, mereka main karena lahan masih banyak di mana-mana. Kalau sekarang di mana? Apalagi di Jakarta. Kita tidak punya pantai yang masih dipakai. Pembangunan di mana-mana, tiang listrik, pohon-pohon juga memengaruhi. Kendala terlalu banyak,” tutur Endang, prihatin. Lantas, apakah para pecinta layangan harus kehilangan bahagianya?
“Saya pikir, pengetahuan dan kebanggaan kita akan layang-layang tidak boleh hilang. At least, waktu kecil dulu kita pernah main layangan, naik ke atas pohon, naik ke atas atap. Anak-anak sekarang tidak begitu karena sudah beralih ke games. Bisa-bisa nanti mereka nggak kenal layangan lagi. Paling tidak mereka punya cerita, saya pernah bikin layangan di Museum Layang-layang, walaupun tidak memainkannya,” tambahnya.
“Saya juga tidak setuju kalau dibilang kuno karena layang-layang terus berkembang. Zamannya Benjamin Franklin, mereka memakai layang-layang untuk percobaan listrik. Di dalam museum, ada yang berbentuk pesawat, itu awalnya dari layangan.”
Baca juga: Jatuh Cinta dengan Dunia Bawah Laut Gara-gara Ocean Gallery di S.E.A Aquarium Singapura
Itulah mengapa wanita ini setia melestarikan permainan tradisional yang sudah jarang dilirik. Layangan keindonesiaan inilah yang menjadikannya berdaya jual tinggi. Semakin kuno, semakin tradisional, semakin tinggi nilai seninya. Ia pun berharap banyak kalangan mulai tergelitik hatinya untuk kembali melestarikan budaya ini. Apalagi, pelbagai prestasi telah dicapai dan menjadi sejarah berarti bagi dunia ini.
“Sedikit demi sedikit, mimpi saya sudah menjadi kenyataan. Layangan ‘kan sudah ditinggalkan berpuluh-puluh tahun, orang udah nggak main lagi. Saya berharap ini akan kembali lagi. Walaupun tidak menjadi addict seperti dulu, main layanan sampai hitam, bahaya. Paling tidak, layangan sudah dikenal lagi. Betul, layangan harus dilestarikan karena itu adalah budaya kita.”
Inilah salah satu bukti nyata pelestarian permainan tradisonal yang coba diturunkan kepada para penerus budaya. Beragam jenis layangan hadir di Museum Layang-layang Indonesia yang buka setiap hari ini. Para pengunjung bisa memanjakan mata dengan bentuk layangan yang unik, warnanya yang cantik, dan ragamnya yang ciamik. Guna meningkatkan pemahaman akan permainan tradisional ini, Endang pun memperbolehkan para pengunjungnya untuk belajar membuat layang-layang.
***
Siang itu di salah satu pelataran, perempuan berbaju putih itu terlihat sedang duduk manis bersila dengan seutas senyum di bibirnya. Dengan asyik ia mengajari beberapa pengunjungnya untuk membuat sebuah layangan sederhana. Di depannya, seorang pria tengah sibuk mencelupkan ibu jarinya ke dalam botol lem, lalu merekatkan rangka bambu di tangannya ke atas kertas. Setelah itu, si perempuan memberi instruksi untuk melipat keempat sisi layangan agar rangka bambu tidak berpindah posisi. Yang harus dilakukan setelahnya adalah menggambar permukaan sisi atas layangan tersebut dengan semenarik mungkin.
Seletah selesai, si perempuan akan membantu melubangi sisi tengah layangan bagian atas dan bawah untuk diberi tali. Setelah dipaskan, layangan tersebut pun sudah jadi dan dapat dimainkan.
Tinggal tunggu angin kencang, atau berlarilah mengitari halaman museum, dan terbangkan layanganmu dengan indah. Inilah salah satu sumber tawa lepas yang ikut melayang di angkasa bersama layang-layang. Tak heran, tak hanya anak-anak saja yang sepertinya ingin ikut terbang bersama di udara, tetapi juga para orang tua yang seolah rindu menerbangkan layangan, terperangkap dalam masa kecil… dan melihat langit tak berujung itu sebagai museum layangan terindah sepanjang masa.
0 Comments