[Book Review] Lebih Senyap dari Bisikan Karya Andina Dwifatma – Ada yang pernah nonton dystopian film berjudul The Lobster, arahan sutradara Yorgos Lanthimos? Film yang dirilis pada 2015 lalu ini menceritakan soal orang-orang lajang yang harus menemukan pasangan hidup dalam 45 hari atau mereka akan diubah jadi hewan pilihan mereka.
Bisa dibilang, ini merupakan sindiran tentang bagaimana masyarakat memandang orang lajang dan bagaimana norma sosial memainkan peran besar dalam perilaku manusia.
Dalam film ini, ada sebuah scene menarik yang kurang lebih begini, ada sepasang perempuan dan laki-laki yang sedang dirundung masalah. Lalu, mereka akan diberikan seorang “anak” yang dipercaya bisa membuat keduanya nggak jadi pisah alias rukun lagi. You know, demi anak.
Tema film dan secuil adegan itu miriiip sekali dengan Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma, salah satu novel fiksi terbaik yang saya baca tahun ini. Berikut review buku selengkapnya.
Review Buku Lebih Senyap dari Bisikan Karya Andina Dwifatma
View this post on Instagram
Judul: Lebih Senyap dari Bisikan
Penulis: Andina Dwifatma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 30 Juni 2021
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: 155
ISBN: 9786020654201
Lebih Senyap dari Bisikan berkisah tentang pasang surut kehidupan keluarga Amara dan Baron. Setelah memasukin tahun-tahun awal pernikahan, mereka dijejali berbagai pertanyaan mengapa belum punya anak, meski keduanya sudah mencoba berbagai cara agar bisa hamil.
Entah kenapa, pertanyaaan kepo soal anak yang sering dianggap basa-basi ini secara nggak langsung jadi tuntutan bahwa Amara dan Baron mesti-wajib-kudu-harus-mau nggak mau punya anak, seperti keluarga-keluarga lainnya.
Masyarakat menganggap bahwa setiap manusia harus berpasang-pasangan, lalu menikah, punya anak (pertama), punya anak (kedua), punya anak lagi kalau mau, dan seterusnya. Nope, zaman sekarang udah nggak lagi gitu, ah.
Bagi sebagian pasangan yang telah menikah, nggak dimungkiri anak memang jadi dambaan. Ketika akhirnya Amara dan Baron ketiban “rezeki” alias dapat “titipan dari Allah”, awalnya mereka kira keluarga kecil mereka sudah sempurna. Namun benar ternyata, kesempurnaan hanya milik Allah.
Lebih Senyap dari Bisikan bukan cuma menggali permasalahan rumah tangga dari konflik satu ke konflik-konflik lainnya. Penulis mencoba bermain-main dengan lapisan benang yang tadinya hampir kusut, lalu kusut, lalu kusut setengah mati, lalu terurai sedemikian rupa.
Di sini, pembaca diajak untuk merasakan kecamuk di dalam diri Amara sebagai seorang perempuan, Ibu, pekerja, dan juga anak (coba lihat saja bagaimana Amara berubah jadi amarah). Pembaca pun juga diajak untuk lebih paham bahwa ada banyak hal yang dapat dicegah dan diselesaikan lewat komunikasi dua arah.
Baca juga: [BOOK REVIEW] Teaching My Mother How to Give Birth Karya Warsan Shire
Lebih Senyap dari Bisikan pun nggak bosan-bosannya menggelitik pembaca bahwa nggak semua yang apa kata orang itu, perlu didengar. Kita punya hak untuk menjalani hidup menurut pilihan masing-masing. Pilihan untuk nggak menikah, nggak punya anak, hidup sendirian sampai tua, dan sebagainya. Ingat, nggak semua apa kata orang itu (selamanya) membahagiakan.
Sama halnya ketika Amara dan Baron sudah dikaruniai anak, satu per satu masalah kian muncul. Sampai ada satu titik di mana Amara merasa bahwa kehadiran anak ternyata bisa semenyenangkan, sekaligus semenyakitkan itu.
Karena diceritakan dari sudut pandang perempuan, saya merasa Lebih Senyap dari Bisikan menjadi lebih spesial, apalagi berkaitan dengan perempuan yang harus berhadapan dengan kompleksitas hidup.
Saya berani jamin, rasanya nggak mudah, lho, jadi seorang perempuan, apalagi jadi Ibu? Punya musuh sistem/budaya patriarki, dicap gender nomor dua, setiap bulan harus menahan kram perut gara-gara menstruasi, dipaksa memilih antara karier atau keluarga, dikatakan mesin pembuat bayi, duh *urut-urut kepala*.
Biar nggak pening, coba nonton obrolan Chef Juna sama Deddy Corbuzier dulu, deh.
Apa Makna Sebenarnya dari Judul Buku?
Saya melihat ada satu pembaca di Goodreads yang pada ulasannya bertanya apa makna sebenarnya dari Lebih Senyap dari Bisikan. Sepengamatan saya, empat kata ini muncul di salah satu halaman menjelang akhir cerita.
Dari pembacaan saya, saya merasa bahwa dunia ini sebenarnya berisi perempuan-perempuan kuat yang dalam hidupnya telah melakukan segala upaya, perjuangan, juga hal-hal lain yang mungkin nggak diketahui orang banyak.
Amara jadi satu dari sekian banyak perempuan yang berserah, bukan menyerah. Sosok kuat itu bersembunyi di balik tubuh seorang perempuan yang terkadang, menyisakan tangis terisak, amarah meledak-ledak, mata bengkak, hingga luka tersibak.
Kendati begitu, panjang umurlah kisah-kisah perjuangan perempuan, terlepas dari apa pun peran mereka di tengah masyarakat. Kasihnya yang tulus sungguh sampai ke orang-orang di sekelilingnya.
Baca juga: [BOOK REVIEW] Selamat Datang, Bulan Karya Theoresia Rumthe
Apa yang Jadi Nilai Plus Novel Ini?
Leih Senyap dari Bisikan mungkin tergolong sebagai novel tipis karena tebalnya nggak sampai 200 halaman. Buat saya yang cukup lelah membaca buku-buku panjang, novel ini pas sekali.
Pembaca nggak diseret lebih jauh untuk tahu cerita-cerita nggak penting yang sebenarnya bukan jadi fokus utama penulis. Andina Dwifatma pun tahu persis kapan ia harus menghentikan suatu plot cerita, lalu menggiring pembaca segera ke fase selanjutnya. Temponya enak banget.
Konflik yang dimunculkan juga dekat sekali dan banyak terjadi di tengah keluarga. Ada salah satu plot yang cukup bikin gregetan, yakni meski Amara sadar bahwa Baron nggak becus dalam urusan keluarga, tapi ia masih ngebelain suaminya. Sepertinya penulis sengaja bikin para pembaca kesal karena ya, begitulah kenyataan yang saya rasa sering terjadi. You know, demi keluarga.
Saya juga kagum sekali dengan teknik penceritaan penulis. Storytelling-nya ngalir banget, nggak bertele-tele, persis seperti gaya bercerita Windry Ramadhina, one of my auto-buy authors. Di sisi lain, banyak sekali bumbu satir berbau kejenakaan yang pas dan cerdas! Salut dengan kekreativitasan penulis!
Kalau mereka ingin berbasa-basi setelah lama tidak ketemu, mereka akan bertanya, “Amara sudah isi belum, nih? sambil memegang perutku. Namun tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, “Baron sudah berhasil menghamili belum, nih?
Apakah ini yang membuat Baron memukulku, karena aku tak lagi menarik di matanya? Mungkin di amenemukan payudara lain yang masih kencang. Payudara yang tidak harus bekerja keras memberi makan seorang bayi sehingga masih bisa menghibur mata lelaki.
Sperma Baron tidak terlalu malas berenang dan sel telurku rupanya tidak jual mahal –mereka hanya belum bertemu.
Kesimpulan
Senang sekali novel fiksi yang nggak kerasa seperti fiksi ini bisa jadi pemantik diskusi dan pembuka komunikasi. Rasanya, sehabis baca novel Lebih Senyap dari Bisikan ini, pengin tulis pesan untuk calon partner di masa depan (uhukk 😆):
- Bukan tugasku untuk mengubah kamu jadi lelaki yang lebih baik. Tapi kalau kamu mau kita jalan bareng, ayok.
- Menikah bukan berarti melimpahkan semua pekerjaan domestik kepada istri. Peran kita setara. Tanggung jawab kita sama.
- Mengurus anak bukan cuma tanggung jawabku sebagai seorang Ibu. Aku mau kita urus bedua, membersarkannya bersama dalam cinta.
- Kalau ada masalah, yuk kita obrolin dan cari solusinya.
- Aku sayang sama kamu, tapi mencintai diriku sendiri sama pentingnya.
Buku yang Ingin Dibaca Selanjutnya
- Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan – Ester Lianawati
- Kitab Kawin – Laksmi Pamuntjak
- Feminis untuk Semua Orang – Bell Hooks
- Perempuan di Titik Nol – Nawal El Saadawi
- Invisible Women: Exposing Data Bias in a World Designed for Men – Caroline Criado Pérez
0 Comments