Apa Itu Book-Shaming dan Kenapa Harus Dihentikan? – Saya enggak nyangka, di dunia perbukuan, ada juga istilah book-shaming. Selama ini saya cuma tahu soal body-shaming. Eh, ternyata hal-hal seperti ini merembet juga ke dunia buku. Saya pikir ini adalah topik menarik yang mampu memantik diskusi.
Jadi gini, beberapa hari yang lalu akun Twitter @disseduh mencuit “Anak milenial lebih mengenal fiersa besari, tere liye dan sejenisnya .. Dibanding Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. :)”. Cuitan ini di-retweet lebih dari 700 akun dan di-like oleh hampir 1.400 akun.
Kemudian, salah satu penulis yang namanya tertera pada cuitan tersebut, membalas begini.
Cuitan ini nyatanya ramai banget jadi perbincangan. Banyak netizen yang berpendapat kalau cuitan @disseduh ini terlalu menggeneralisasi bacaan kaum milenial. Enggak sedikit juga yang bilang kalau mereka malah tahu soal Pramoedya Ananta Toer dari buku-bukunya Fiersa Besari.
Usut punya usut, cuitan tersebut hanyalah spekulasi pribadi sang admin. Bila ditelusuri, akun @disseduh membalas lagi cuitan Fiersa Besari. Isinya klarifikasi.
Tertulis begini, “@FiersaBesari Mohon maaf kepada bung @FiersaBesari sebesar2nya Tidak ada maksudku seperti itu. Kemarin ada yg ritwit Quote Pram di TL ku. Ada juga yg ngritwit twit, Bung tentang jalan “ninjaku” yg dpt ribuan ritwit, lalu saya bikin twit seperti itu. Cuma itu bung. Sekali lagi mohon maaf”
Jika disimpulkan, cuitan pertama akun @disseduh memang agak ambigu, sih. Opini yang dibuatnya malah menggiring pembaca lain untuk melontarkan pendapat, atau mungkin juga fakta.
Malahan, topiknya menjurus ke book-shaming pula. Sebenarnya, apa sih, book-shaming itu? Berikut sedikit penjelasannya.
Apa Itu Book-Shaming?
Book-shaming adalah suatu kondisi di mana seseorang membuat orang lain merasa enggak enak, enggak percaya diri, atau merasakan efek buruk lainnya, terkait bacaan kesukaan mereka.
Penyebabnya beragam. Bisa jadi karena opini atau judgement orang lain terhadap buku yang disuka.
Contoh, di umur yang udah enggak bisa dibilang anak-anak lagi, saya masih suka baca komik Hai, Miiko! Saya koleksi pula! Sampai pernah suatu kali saya mendapatkan komentar, “Udah gede masih baca komik”.
Kalau dibandingkan sama temen-temen lain, wah… bacaan mereka sesuai banget sama umurnya. Ada yang baca sastra, ada yang baca buku berbahasa Inggris, ada yang baca Haruki Murakami, dan sebagainya.
Baca juga: [BOOK REVIEW] Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini Karya Marchella FP
Seringnya, mereka merasa bacaan mereka lebih oke, lebih berisi, lebih pas, dan lebih-lebih yang lainnya daripada orang lain.
Contoh lain, teman Bookstagrammer saya, Afy (@splendidwords) suka banget baca novel young adult. Padahal, ia mengambil Jurusan Sastra di perguruan tinggi. Afy cerita, ia pernah mendapat celetukan dari temannya, “Makanya, jangan baca teenlit mulu”.
Gimana, ada yang pernah mengalami hal serupa?
Apakah Kamu Pernah Melakukan Book-Shaming?
Tanpa sadar, mungkin saya atau kamu pernah melakukan book-shaming, baik disengaja maupun enggak. Yuk, kenali ciri-cirinya lebih dulu.
1. Men-judge atau merendahkan bacaan orang lain
Pernah nggak sih, kamu men-judge bacaan teman karena kamu enggak suka sama bacaan tersebut? Sampai-sampai, judgement kamu menuju ke arah underestimate. Mungkin, kamu berpikir kalau kamu enggak akan pernah membaca buku tersebut karena bla-bla-bla.
- “Enggak guna baca novel teenlit. Mending baca novel sastra.”
- “Kok, lo baca buku NKCTHI, sih? Biar keren dan ikutan kekinian gitu?”
- “Ngapain sih, beli buku ilustrasi? Yang dijual kan cuman gambar, belum tentu tulisannya berisi.”
2. Merasa bacaan kamu paling keren
Kamu menutup diri dengan genre lain karena merasa buku-buku yang kamu nikmati saat ini adalah yang paling keren. Kamu merasa bacaan kamu lebih berisi karena (misalnya) merupakan sastra, ditulis oleh sastrawan Indonesia yang sudah melegenda, merupakan bacaan berat yang enggak semua orang “nyambung” bacanya, dan sebagainya.
3. Mengkotak-kotakkan pembaca
Sama seperti cuitan di atas, kamu mengkotak-kotakkan pembaca berdasarkan umur, gender, genre, bahkan jumlah retweet. Kamu merasa bacaan politik atau sejarah terlalu berat buat anak SMA, kamu merasa orang dewasa enggak pantas baca teenlit, kamu merasa anak Sastra bacaannya cuma seputar sastra aja.
Not good, it’s not good.
4 Ciri-ciri Kamu Korban Book-Shaming
Selanjutna, saya ingin membahas ciri-ciri korban book-shaming. Sebagian isi dari poin ini saya kembangkan dari caption foto Mbak Windy Ariestanty, serta pengalaman yang saya alami sendiri. Seenggaknya, ada 4 ciri-ciri bahwa kamu adalah korban book-shaming.
1. Malu membaca genre tertentu di ruang publik
Well, kalau dipikir-pikir, saya pernah ngerasain hal ini. Enggak tahu kenapa, saya merasa lebih percaya diri buat baca buku-buku puisi Rupi Kaur, ketimbang buku-buku puisi berbahasa Inggris lainnya. Love & Misadventure karya Lang Leav, misalnya.
Mungkin, buku Lang Leav isinya lebih menye-menye, sementara karya Rupi Kaur lebih populer dan dewasa. Ketika membaca karya yang lebih populer, seperti ada kebanggan tersendiri rasanya.
Pernah juga, saya merasa kurang nyaman ketika harus membaca Diary of a Wimpy Kid-nya Jeff Kinney saat berada di transportasi umum. Mungkin, karena ini sebenarnya adalah bacaan untuk anak-anak. Namun kalau dipikir-pikir, buku ini juga cocok dibaca orang dewasa, kok. Apa salahnya? Dan kenapa pula harus malu?
2. Enggak jujur saat memberikan ulasan
Ciri kedua, kamu bilang ke orang lain kalau kamu enggak suka sama buku yang sebenarnya kamu suka. Alasannya, kamu malu karena udah baca buku tersebut. Atau bisa juga, kamu bilang enggak suka karena mayoritas orang bilang enggak suka.
Sebagai contoh, kamu suka banget baca Things & Thoughts I Drew When I was Bored karya Naela Ali.
Namun, karena teman-teman komunitas buku kamu menganggap, “Duh, ini buku apan, sih? Buku motivasi? Isinya gambar sama quotes doang. Bukunya cuma bagus buat difoto”, otomatis kamu langsung bilang kalau kamu juga enggak tertarik buat baca buku ini. In fact, you love it damn much.
3. Takut memberikan rekomendasi buku
Hal yang satu ini nyatanya juga pernah saya alami. Di komunitas Bookstagram, para pencinta buku memiliki genre bacaan yang begitu luas dan beragam. Kebanyakan dari mereka suka banget sama novel-novel fantasi, yang mana genre itu bukan saya banget.
Ketika ada yang nanya rekomendasi buku pada saya, saya bingung dan jadi overthinking. Bahkan, lebih takut ke atah bakal di-judge orang lain. Kira-kira, mereka bakal suka dengan rekomendasi yang saya berikan enggak, ya? Mereka kan, sukanya fantasi, sementara saya lebih suka baca young adult atau buku puisi.
Perasaan kayak gini nyatanya bikin saya urung untuk memberikan rekomendasi buku. Padahal, belum tentu lho, para penyuka fantasi enggak suka baca buku puisi? Begitu juga sebaliknya.
4. Membeli buku yang sebenarnya enggak kamu suka demi…
Demi ikutan eksis, demi dipuji, demi eksistensi, demi enggak di-book-shaming-in orang lain. Oke, ini menyebalkan, sih. Ketika orang lain bikin kamu enggak percaya diri sama bacaan yang kamu suka, kamu malah memaksakan diri untuk membaca genre lain yang sebenarnya sulit untuk kamu nikmati?
Boleh saya luruskan dulu? Begini, enggak semua orang bisa membaca genre teenlit. Enggak semua orang suka baca buku Pidi Baiq. Enggak semua orang juga bisa membaca ratusan buku dalam satu tahun. Yuk, jangan merasa diri eksklusif karena kamu merasa kamu lebih “pembaca” dari yang lainnya. Stop book-shaming!
Penutup: Kenapa Harus Menghentikan Book-Shaming?
Kamu boleh kok, mengkritik bacaan orang lain, tapi jangan sampai kamu mengkritik si orang tersebut karena bacaan mereka, ya.
Setiap orang kan punya selera bacaannya masing-masing. Jangan sampai kamu membuat orang lain jadi enggak nyaman sama bacaan mereka karena mereka punya opini atau bacaan yang berbeda. Jadi, kenapa enggak saling menghargai? Readers supporting readers.
Gimana caranya? Coba deh, bagikan ulasan kamu soal buku yang dibaca. Lalu, dengarkan juga ulasan buku yang dibaca teman-teman lain. Siapa tahu, kamu dan temanmu malah bisa saling tukar genre buku.
Nah, mulai sekarang, yuk jangan malu lagi dengan bacaan yang kamu suka. Enggak apa-apa tahu kalau kamu udah dewasa tapi masih suka baca novel remaja. Enggak apa-apa juga kok, cowok suka baca buku puisi romantis.
Baca juga: 4 Blogger Buku Favorit yang Sering Kasih Rekomendasi Buku Bagus
Enggak apa-apa kalau kamu pergi ke Big Bad Wolf dan lebih tertarik buat beli buku cerita anak-anak yang menggemaskan. Enggak apa-apa baca novel yang sama berulang kali. Enggak apa-apa juga kalau kamu lebih suka baca tulisan di Wattpad ketimbang buku yang diterbitkan penerbit.
Saya, kamu, kita semua ini pembaca. Yuk, saling dukung satu sama lain dan jadikan kegiatan membaca ini sebagai sesuatu yang menyenangkan. Membaca kan bukan kompetisi. Jadi, ini bukan perkara siapa yang bacaannya lebih keren. So, stop book-shaming and read on!
Selain posting-an di bawah ini, enaknya nulis soal apa lagi, ya?
Kebiasaan Membaca Buku di Perjalanan yang Ingin Saya Tularkan ke Kamu
2. Apa Itu Bookstagram dan Bagaimana Cara Membuatnya?
3. Apa Itu Books Aficionado?
4. Q&A: 15 Fun Facts about Me and My Bookstagram @sintiawithbooks
5. 7 Tips Meningkatkan Follower Bookstagram untuk Pemula
6. 30 Bookstagram Terms You Should Know
7. 20 Inspirasi Rainbow Bookshelf di Bookstagram yang Bikin Betah Baca Buku Seharian
8. Pengalaman Borong Buku di Big Bad Wolf Jakarta (Bonus: 5 Tips Biar Enggak Kalap)
9. 5 Buku Favorit yang Bikin Saya Jatuh Cinta dengan Dunia Anak-anak
10. Rainbow Bookshelf: Menata Buku-buku pada Rak Seperti Warna Pelangi
11. 5 Teknik Meningkatkan Engagement Bookstagram Lewat Pemberian Komentar
12. 30+ Most Popular Bookstagram Hashtags to Increase Your Followers
13. 15 Rupi Kaur Powerful Quotes Every Girl Needs to Read
14. 15 Akun Bookstagram Indonesia Terfavorit, Sudah Follow Belum?
15. 3 Penulis Teenlit yang Novelnya Bikin Kangen Masa SMA
16. 7 Benda yang Bisa Kamu Jadikan Pembatas Buku
17. Pengalaman Mengirim Buku Gratis Lewat Kantor Pos Setiap Tanggal 17
18. 11 Most Creative Bookstagrammer to Follow in 2018
19. Asyiknya Belanja Buku di Periplus, Toko Buku Impor Langganan
20. [BOOK REVIEW] Gadis Daun Jeruk, Si Pengingat Mimpi
21. 17 Rekomendasi Buku di POST Bookshop Pasar Santa
22. [BOOKSTAGRAM TIPS] Memotret Buku dengan Kamera HP atau Kamera DSLR?
23. [EKSKLUSIF] Bab Pertama Novel The Perfect Catch Karya Chocola
24. [BOOK REVIEW] Na Willa: Serial Catatan Kemarin Karya Reda Gaudiamo
25. 7 Properti untuk Bookstagram Biar Foto Makin Keren
26. 7 Cara Memfoto Buku untuk Bookstagram
27. Pengalaman Membeli Buku di POST Bookshop Pasar Santa
28. Pengalaman Beli Buku di Grobmart untuk Pertama Kalinya
29. [BOOK REVIEW] Aku, Meps, dan Beps Karya Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo
30. Bagaimana Cara Menulis Caption untuk Bookstagram?
31. [BOOK REVIEW] The Stories of Choo Choo: You’re Not as Alone as You Think Karya Citra Marina
32. [BOOK REVIEW] Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini Karya Marchella FP
33. 10 Kutipan Terbaik dari Buku NKCTHI Karya Marchella FP
34. [BOOK REVIEW] Things & Thoughts I Drew When I was Bored Karya Naela Ali
35. [BOOK REVIEW] Milk and Honey Karya Rupi Kaur Versi Bahasa Indonesia
36. [BOOK REVIEW] Off the Record Karya Ria SW
37. 17 Ide Foto Bookstagram Bertema Natal yang Bisa Kamu Tiru
38. Cara Mudah Menemukan Buku yang Sedang Diskon di Toko Online
39. Berkunjung ke Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Tertinggi di Dunia
40. Akhir Pekan Produktif di Haru Bookstore Gading Serpong
41. Mudahnya Beli Buku Online di Belbuk.com
42. Kebiasaan Membaca Buku di Perjalanan yang Ingin Saya Tularkan ke Kamu
43. Ngobrolin Novel Taman Pasir di Twitter Bareng Penerbit Grasindo
44. Bedah Buku dan Peluncuran Novel Nyanyian Hujan
45. @sintiawithbooks’ Best Nine on Instagram in 2018
46. [BOOK REVIEW] Seri Kemiri Yori Karya Book For Mountain
47. Serunya Kumpul dan Makan Siang Bareng Nagra dan Aru
48. 8 Booktuber Indonesia Favorit yang Wajib Kamu Tonton Videonya
49. 4 Blogger Buku Favorit yang Sering Kasih Rekomendasi Buku Bagus
0 Comments