Menyaksikan Wayang Potehi di Hong Tiek Hian, Klenteng Tertua di Surabaya – Selesai mengisi perut di Lontong Balap Pak Gendut, saya langsung berkeliling Surabaya karena enggak pengin menyia-nyiakan waktu kosong.
Pilihan destinasi saya waktu itu adalah Klenteng Hong Tiek Hian, yang mana rupanya merupakan klenteng tertua di Surabaya.
Dari Lontong Balap Pak Gendut menuju Klenteng Hong Tiek Han memakan waktu kurang lebih 15 menit. Supaya lebih gampang, saya memesan transportasi online.
Rupanya, klenteng ini berada di kawasan China Town, yang mana jalanannya memang sempit dan lalu lintasnya lumayan padat. Jadi, mesti buru-buru kalau turun dari kendaraan supaya enggak mengundang kemacetan.
Nah, berikut ini sekilas perjalanan saya di klenteng tertua di Surabaya ini.
Sekilas tentang Klenteng Hong Tiek Hian, Klenteng Tertua di Surabaya
Gerimis yang perlahan menetes menyambut kedatangan saya. Pas sampai Klenteng Hong Tiek Hian, saya agak ragu, apa benar saya sudah sampai di tempat tujuan.
Setelah mengamati beberapa saat, barulah saya menyadari ada sebuah menara berwarna merah, yang biasanya digunakan sebagai tempat pembakaran kertas sembahyang. Kim Lo, sebutannya.
Ada pula gapura kecil berwarna merah bertuliskan huruf Mandarin beserta nama jalan. Iya, saya beneran sudah sampai. Saya langsung masuk ke dalam dan mengeksplorasi lebih jauh.
Baca juga: Rawon Setan Bu Sup, Kuliner Surabaya Penggugah Selera
Siapa yang sangka, Klenteng Hong Tiek Hian ini telah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Kini, tempat ibadah ini dikelola oleh Yayasan Sembahyang Hok Tiek Hian yang berada di bawah naungan Himpunan Tempat Ibadah Tridharma se-Indonesia.
Karena letaknya di Jalan Dukuh, klenteng ini kerap disebut Klenteng Dukuh. Nah, klenteng tertua di Surabaya ini memiliki dua bangunan utama yang dipisahkan oleh gang.
Pengunjung bisa menemukan Altar Macko dan Kong Co pada lantai 1 klenteng. Kemudian, di lantai 2, pengunjung bisa menemukan Altar untuk Buddha, Dewi Kwan Im, juga dewi yang lainnya.
Baca juga: Berdoa dan Berwisata di Vihara Boen San Bio
Selain digunakan untuk tempat beribadah, Klenteng Hong Tiek Hian ini juga dijadikan tempat wisata sebab banyak yang penasaran ingin mengunjungi klenteng tertua di kota Pahlawan ini.
Apalagi, klenteng ini selalu menyuguhkan Wayang Potehi, pertunjukan wayang khas masyarakat Tionghoa. Jujur, saya memang enggak tahu banyak soal pertunjukkan ini. Namun, saya pernah menyaksikannya sekali dalam sebuah perayaan Imlek di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta.
Wah, menarik juga klenteng ini masih mempertahankan tradisi, pikir saya kala itu.
Menyaksikan Wayang Potehi yang Sepi Penonton
Saat sampai di Klenteng Hong Tiek Hian, Wayang Potehi sedang dipertontonkan pada pengunjung yang singgah, yang mana salah satunya adalah saya.
Pagi itu memang sepi sekali. Hanya ada satu penonton yang duduk menyaksikan pertunjukan. Dilihat dari wajahnya, sepertinya pria itu adalah warga negara asing.
Menurut informasi yang saya himpun dari Detik.com, Wayang Potehi sendiri masih dilakoni oleh Group Lima Merpati Klenteng Hong Tiek Hian, yang mana dipimpin oleh Sukar Mudjiono. Seni ini nyatanya bukan hanya dipertontonkan kepada manusia saja, melainkan kepada para dewa.
Biasanya, Wayang Potehi memang ramai dipertontonkan saat perayaan Imlek. Namun, saat hari-hari biasa juga sering, kok. Bahkan, rutin seperti di Klenteng Hong Tiek Hian ini.
Baca juga: Sebelum Trekking Berjam-jam, Isi Tenaga Dulu di Ikan Bakar Pesona Banyuwangi
Oh ya, Wayang Potehi sendiri umumnya ditampilkan sebagai ucapan syukur atau terima kasih kepada para dewa. Entah karena berhasil mencapai sesuatu dalam bisnis, pendidikan, kehidupan, atau bidang lainnya. Bisa juga, sebagai bagian dari hajat.
Lantas, cerita apa sih, yang biasanya disuguhkan Wayang Potehi? Jawabannya, bermacam-macam.
Namun, biasanya menceritakan seputar kepahlawanan si tokoh utama pada masa Kerajaan Tiongkok, misalnya cerita Sun Go Kong, Kera Sakti legendaris.
Wayang Potehi pun enggak bisa langsung dipentaskan begitu saja. Biasanya, ada sembahyang terlebih dahulu sebelum ceritanya dimainkan di panggung peraga. Katanya, cerita yang dibawakan pun sesuai dengan permintaan dewa.
Baca juga: Kepincut Kerennya House of Sampoerna Surabaya
Kemudian, Wayang Potehi ini bisa dinikmati para pengunjung setiap harinya di Klenteng Hong Tiek Hian. Ada tiga kali pentas, yaitu pukul 09.00, 13.00, dan 19.00 WIB.
Waktu itu saya sampai di Klenteng Hong Tiek Hian sekitar pukul 11.00 dan bisa jadi, saya menyaksikan pertunjukkan sesi pertama. Hanya menonton sebentar, eh tahu-tahu sudah habis saja.
Yang menarik, berapapun jumlah penonton yang hadir untuk menyaksikan (atau bahkan enggak ada yang menonton sekalipun), pertunjukan wayang khas Tiongkok ini akan tetap berjalan. Jelas, soalnya pertunjukkan ini bukan cuma untuk manusia saja.
Hal Menarik Lainnya di Klenteng Hong Tiek Hian
Seusai menyaksikan Wayang Potehi, saya pun berkeliling di Klenteng Hong Tiek Hian ini. Enggak lupa, saya mengabadikan beberapa sudut yang terlihat menarik.
Siang itu, enggak banyak pengunjung yang bertandang. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Ada yang memang datang untuk beribadah, ada yang datang untuk sekadar mampir dan berbincang, ada juga wisatawan seperti saya yang datang untuk melihat-lihat dan mengulik lebih dalam soal Klenteng Hong Tiek Hian ini.
Sama seperti klenteng pada umumnya, warna merah dan emas terlihat begitu mendominasi.
Kemudian, saya juga melihat banyak tulisan dalam huruf Mandarin yang entah apa artinya. Ukiran serta ornamen Naga pun juga terlihat di mana-mana. Sangat khas!
Oh ya, pertunjukkan Wayang Potehi bisa disaksikan di bangunan klenteng sebelah kiri. Suasananya memang agak gelap karena menggunakan lampu seadanya di ruangan yang besar itu.
Cahaya dari lilin yang menyala, serta sinar matahari lumayan membantu penerangan di dalam bangunan ini.
Di sini pulalah terdapat penjual yang menyediakan perlengkapan untuk sembahyang. Misalnya, seperti lilin besar, hio, sampai uang kertas. Alat-alat sembahyang ini memiliki arti tersendiri, lho.
Mislanya, lilin yang menyala dipercaya dapat terus menerangi rezeki dan keberuntungan. Kemudian, hio digunakan sebagai medium untuk bersembahyang.
Sementara itu, kertas uang berwarna kuning yang biasanya disebut kim coa, digunakan sebagai persembahan atau kiriman uang untuk dewa, juga orang yang telah meninggal.
Di dalam bangunan ini juga ada altar doa atau tempat sembahyang. Biasanya, mereka membakar hio, berdoa, lalu menancapkan hio pada tempat yang telah disediakan.
Kemudian, saya menyeberang ke bangunan di depannya. Jadi, kalau masuk dari pintu utama, bangunan ini berada di sebelah kanan. Nah, apa sih, bedanya dengan bangunan klenteng di sebelah kiri?
Saat pertama kali memasuki bangunan di sebelah kanan ini, saya disambut beberapa patung dewa berjubah merah, dengan masing-masing senjata di tangan.
Di depan masing-masing patung, ada tempat menaruh hio. Hio berukuran panjang yang masih tertancap di sana, biasanya baru diletakkan. Sementara hio berukuran pendek, apinya sudah mati dan biasanya sudah diletakkan lama.
Di dalam bangunan ini pula ada altar sembahyang yang lebih besar lagi. Ornamen naga pada tiang semakin memberikan kekhasan pada Klenteng Hong Tiek Hian ini.
Waktu itu, saya melihat ada seorang umat yang menggunakan kim coa saat beribadah. Seperti yang sudah dijelaskan, kim coa atau aung kertas ini merupakan tradisi mengirimkan persembahan atau tabungan bagi para dewa atau orang yang sudah meninggal.
Nah, kim coa ini bentuk aslinya adalah persegi, kemudian biasanya dilipat sesuai dengan pesanan pembeli. Misalnya, ada yang memesan bentuk teratai dan nanas. Harganya pun berbeda-beda, mulai dari Rp4 ribu- Rp200 ribu.
Eittsss… tapi ada yang lebih mahal lagi. Ada juga kim coa yang dibentuk seperti perahu emas.
Harganya lebih mahal, yakni Rp1 juta, sebab kertas yang digunakan pun berbeda. Nah, setahu saya, nantinya kim coa ini dibakar dan dimasukkan ke dalam Kim Lo, menara tempat pembakaran kertas uang tersebut.
Baca juga: Mendaki dan Melihat Langsung Sisa-Sisa Letusan Gunung Krakatau
Bila ditelusuri lebih lanjut, ada banyak hal menarik lainnya yang bisa dikulik dari Klenteng Hong Tiek Hian ini. Namun, rasanya saya ingin beristirahat sejenak lantaran belum bertemu kasur semalaman.
Bagi kamu yang memiliki rencana pergi berlibur ke kota Pahlawan, jangan lupa menyaksikan sendiri bagaimana rupa klenteng tertua di Surabaya ini, ya. Lumayan, bisa wisata religi sekaligus tambah ilmu mengenai klenteng di Indonesia.
Jangan lupa berwisata religi ke Klenteng Hiong Tiek Hian di Surabaya ini.
Alamat: Jalan Dukuh Gg. II & Gg. 1, No. 2, Nyamplungan, Pabean Cantian, Surabaya, Jawa Timur -60162
Wah, ini menarik. Kebetulan tahun depan ada rencana kumpul keluarga di Surabaya. Akan dipertimbangkan untuk masuk ke itinerary.
Selamat berkumpul bersama keluarga di Surabaya, ya, nanti 😀
Wow, ulasannya mantap, mbak Sintia. Thanks. Membuka mata. Jadi tertarik untuk ngeliat Klenteng yang ada dekat rumah. Mengenal budaya lain lebih dekat.
Wah, Mbaknya tinggal di Surabaya? Jangan ragu buat mampir, ya. Budayanya menarik sekali untuk ditelusuri.
Waktu jalan jalan kesini nggak ada pertunjukkan wayang potehi. tahu wayang potehi waktu mengunjungi klenteng tertua di kota sebeblahnya di Gresik, dan ternyata menarik menyaksikan wayang potehi.
Seru! Waktu itu di Gresik di mananya?