Pengalaman Terbang Saat Pandemi untuk Penerbangan Domestik – Saya mengambil ransel berisi laptop dan kamera mirrorless dari dalam mobil lalu meletakkan salah satu talinya di pundak kanan. Beratnya, keluh saya dalam hari. Kemudian saya mengambil koper hitam yang baru saja diturunkan Papa dari bagasi mobil, sementara Mama mengambil yang merah.
Halo Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, akhirnya kami kembali berjumpa. Hari itu tanggal merah, suasana bandara cukup ramai. Rabu itu, saya dan Mama akan pulang ke Bangka untuk menengok Apho yang sedang sakit. Pesawat Citilink yang akan kami tumpangi akan lepas landas pada pukul 09.45 WIB dan kami sudah sampai di sana pukul 07.39 WIB.
Baca juga: Pengalaman dan Kebijakan Refund Citilink Terkait COVID-19
Yang saya ketahui dari cerita teman-teman, ketika hendak terbang saat pandemi, ada baiknya sampai di bandara 4 jam sebelumnya. Namun ada juga yang bilang sebenarnya enggak perlu selama itu dan ya, mungkin sampai 1,5-2 jam sebelum jadwal keberangkatan, asalkan segala dokumen dan perintilan sudah siap sedia.
Saya menghela napas. Di balik masker putih yang saya kenakan, saya tersenyum lebar. Di balik kaca mata, kedua bola mata saya berbinar terang.
Saya enggak bisa menyembunyikan rasa antusias ketika tahu bahwa akhirnya saya akan terbang lagi. Super excited! Sekangen itu sama hiruk pikuk bandara yang selalu jadi tempat pertemuan dan perpisahan ini.
Nah, untuk memberikan gambaran lebih lanjut bagaimana kondisi atau persyaratan jika hendak terbang saat pandemi, semoga pengalaman ini bisa membantu.
Pengalaman Terbang Saat Pandemi untuk Penerbangan Domestik
1. Validasi dokumen rapid test
Hal pertama yang saya dan Mama lakukan setelah melewati security screening di pintu masuk adalah menuju counter validasi dokumen rapid test yang berlokasi di Gate 3, Terminal 3 Keberangkatan. Kami sudah melakukan tes rapid antigen sebelumnya sehingga bisa lebih menghemat waktu.
Di area ini, terlihat antrean mengular yang dibagi menjadi beberapa line. Petugas keamanan di sana berkata bahwa untuk validasi dokumen ini bisa diwakilkan. Maksudnya begini, saya pergi berdua dan yang perlu mengantre bisa satu orang saja sementara sementara yang lain menunggu di luar antrean.
Sepengalaman saya, antrean validasi cukup cepat, mungkin sekitar 5 menitan. Saat di depan counter, saya hanya ditanya ke mana tujuan saya dan petugas di sana langsung memvalidasi surat dengan stampel dan tanda tangan. Super quick!
[UPDATE 25/9] Semenjak beberapa bulan lalu, Bandara Soekarno Hatta sudah menerapkan validasi dokumen kesehatan secara elektronik melalui mesin-mesin yang sudah disediakan. Penumpang hanya perlu memasukkan nomor flight dan nomor KTP, lalu akan muncul hasil pencarian yang akan dijadikan bukti validasi. Bukti validasi tersebut difoto dengan HP dan nanti perlu ditunjukkan saat check in/bagage drop. Apabila bingung, jangan khawatir karena akan ada petugas yang membantu.
2. Check-in
Setelah validasi dokumen rapid test, kami langsung menuju counter check in. Di sini kami cukup menunggu lama karena counter yang dibuka enggak terlalu banyak, ada petugas yang kurang gesit, atau bisa jadi memang beberapa penumpang membawa banyak barang sehingga pengecekanya agak lama.
Sedikit tips, lebih baik melakukan online check-in lewat aplikasi OTA, web/mobile app maskapai, tergantung di mana pemesanan tiket dilakukan. Penumpang juga bisa self check-in di bandara di mesin yang disediakan supaya lebih cepat, ya.
Jadi, kalau nggak ada barang yang hendak dimasukkan ke bagasi pesawat, sepertinya bisa langsung ke ruang tunggu. Namun kalau ada bawaan yang ingin dimasukkan ke bagasi, bisa langsung ke bagian baggage drop.
Di counter check in, jangan lupa tunjukkan boarding pass digital (kalau mau di-print sendiri juga boleh) dan tunjukkan kartu identitas, seperti KTP untuk pengecekan.
Kemudian seperti biasa, bawaan yang akan masuk bagasi akan ditimbang terlebih dulu. Nah, boarding pass milik saya dan Mama enggak di-print lagi, jadi nanti tinggal scan dari layar ponsel aja.
3. Menuju ruang tunggu
Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta tuh seluas itu! Saya dan Mama harus menuju gate 21 yang lumayan jauh. Mungkin bisa 15 menit jalan kaki, ya? Untung ada travelator yang membantu para penumpang untuk mempercepat langkah supaya bisa sampai di gate yang dituju.
Kala itu, saya keasyikan foto-foto reading corner bandara di gate 12 dan juga toko buku Periplus, sampai-sampai saya enggak lihat waktu. Pas udah sampai di gate 21, ternyata udah waktunya boarding. Fyuhh … tepat pada waktunya!
4. Boarding time!
Saat mengantre untuk masuk ke pesawat, Mama selalu mengingatkan saya untuk menjaga jarak dengan penumpang lain. Memang, biasanya saat boarding, para penumpang pasti enggak sabaran untuk masuk ke dalam pesawat. Namun, kala terbang saat pandemi, tentu harus ingat untuk selalu menjaga jarak dengan yang lain.
Baca juga: Terpukau Cantiknya Biru Danau Kaolin Bangka
Setelah petugas memindai barcode boarding pass yang saya screenshot di ponsel, saya dan Mama langsung naik ke pesawat. Wahh … ternyata pesawatnya penuh! Armada yang kami tumpangi nyatanya enggak memberlakukan seat distancing seperti Garuda Airlines.
Wajar juga, sih, Garuda mematok harga yang lumayan tinggi, mungkin bisa 3-4 kali lipat harga tiket Citilink yang saya beli, yang mana sama saja dengan seperti 1 penumpang membeli 2 kursi. Di dalam hati saya cuma bisa berdoa agar penerbangan beserta para penumpang di dalamnya aman.
5. Takeoff
Saya dan Mama duduk terpisah. Saya di sayap kiri, sementara Mama di sayap kanan. Sebelum take off, sayup-sayup saya mendengar suara Mama berbicara dengan penumpang sebelahnya. Duh, mana ponsel sudah dimatikan. Pengin rasanya bilang ke Mama supaya enggak ngobrol dengan orang di sebelahnya guna mencegah penyebaran virus.
Peraturan ini memang enggak diberitahukan secara lisan oleh pihak maskapai, tapi enggak ada salahnya untuk diterapkan penumpang pesawat, kan? Yang saya tahu, peraturan dilarang berbicara atau mengobrol via telepon sudah diterapkan di MRT Jakarta, yang mana bagus juga, ya, kalau diterapkan di transportasi publik mana pun.
Omong-omong, apa saja hal yang berbeda saat terbang? Berikut beberapa hal yang saya perhatikan.
- Panduan keselamatan penumpang disesuaikan dengan menyertakan penggunaan masker. Misalnya, ketika hendak menggunakan masker oksigen, diberitahukan bahwa penumpang bisa melepas masker terlebih dahulu.
- Enggak diperkenankan untuk makan dan minum selama di pesawat untuk penerbangan kurang dari 2 jam. Bagi yang sudah memesan makanan/minuman, hanya boleh di-take away.
- Penumpang yang ingin ke toilet, enggak diperkenankan untuk mengantre lebih dari 2 orang. Satu orang bisa kembali ke tempat duduk dan awak kabin akan menginformasikan apabila toilet sudah kosong.
- Enggak disediakan in-flight magazine di kantung belakang kursi, hanya ada kartu keselamatan penumpang saja.
- Awak kabin mengingatkan untuk mengisi kartu kesehatan EHAC (yang sekarang sudah ada di aplikasi PeduliLindungi).
6. Landing
Puji Tuhan kami mendarat dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Nah, saat hendak turun dari pesawat, ada sedikit perubahan juga, nih. Awak kabin akan menyebutkan nomor kursi mana saja yang boleh turun duluan. Sementara yang nomor kursinya belum dipanggil, diimbau untuk tetap duduk/enggak mengambil bawaan yang tersimpan di kabin pesawat.
Ya gitu, deh, beberapa penumpang udah enggak sabaran untuk turun. Nomor kursinya belum dipanggil, eh udah mau buru-buru turun aja. Untuk awak kabin lainnya dengan sigap menegur penumpang yang enggak mendengarkan pengumuman.
Karena saya dan Mama duduk di kursi bagian belakang, kami termasuk yang keluar terakhir. Enggak apa-apa, deh, enggak buru-buru juga, kok. Hehe. 😀
7. Scan kartu kesehatan EHAC
Sesampainya di bandara kota tujuan, saya kembali menyiapkan hasil screenshot kartu kesehatan EHAC yang sehari sebelumnya sudah saya isi. Banyak yang bilang kalau aplikasi EHAC sering error sehingga lebih aman untuk langsung screenshot barcode-nya saja, untuk kemudian ditunjukkan kepada petugas. Oh, kalau mau isi manual juga bisa, ya.
Di bagian ini, ternyata masih ada penumpang yang belum terdukasi dengan baik mengenai EHAC. Pas sampai di counter pengecekan, ada yang mendadak harus melipir ke luar barisan karena belum isi, enggak ngerti apa itu EHAC, atau bahkan enggak tahu kalau ada kebijakan ini.
Saya perhatikan, salah satu tipe penumpang yang enggak aware soal EHAC ini adalah para orangtua/lansia yang sendirian terbang saat pandemi. Jujur, kasihan, sih. Semoga petugas di sana bisa membantu, ya.
Di bagian ini antrean cukup membludak dan agak susah untuk jaga jarak. Namun, untung pengecekannya cepat, kok. Petugas hanya scan barcode aja, kemudian bisa langsung ambil bagasi, jika ada.
[UPDATEE 25/9] Pengecekan EHAC saat ini sudah bisa melalui aplikasi PeduliLindungi. Enak banget semua-muanya sudah bisa di satu aplikasi saja. Flow-nya sama, nanti hanya perlu tunjukkan barcode yang akan dipindai petugas.
8. Ambil bagasi
Sepertinya, Tuhan tahu deh kalau saya dan Mama udah kelaparan karena belum sarapan dan hari sudah semakin siang (plus kami udah enggak sabar pengin makan Bakmi Bangka), dua koper yang kami letakkan di bagasi pesawat muncul duluan di baggage carousel. Kemudian, lanjut ke pengecekan terakhir oleh petugas guna memastikan bahwa tas yang kami ambil memang benar milik kami.
Secara keseluruhan, pengalaman terbang saat pandemi enggak seribet yang dibayangkan, lho. Beberapa hari yang lalu, Papa juga baru aja melakukan perjalanan ke luar kota sendirian dengan pesawat dan setelah saya jelaskan prosesnya secara lengkap, Puji Tuhan segalanya lancar.
Saya jadi makin percaya diri untuk terbang saat pandemi. Enggak sabar untuk explore kota-kota lainnya di dalam negeri. Ah, semoga diberi kesempatan, kesehatan, dan kelancaran nanti.
0 Comments